Minggu, 09 September 2007

Penyusunan APBD berbasis kinerja

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membuka peluang yang luas bagi daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Dengan berlakunya kedua undang-undang tersebut di atas membawa konsekuensi bagi daerah dalam bentuk pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat. Hal tersebut dapat dipenuhi dengan menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (RKA-SKPD) seperti yang disebut dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 19 (1) dan (2) yaitu, pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran Tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Sistem penganggaran seperti ini disebut juga dengan anggaran berbasis kinerja (ABK). Undang-Undang Nomor 17 menetapkan bahwa APBD disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk mendukung kebijakan ini perlu dibangun suatu sistem yang dapat menyediakan data dan informasi untuk menyusun APBD dengan pendekatan kinerja. APBD berbasis kinerja yang disusun oleh pemda harus didasarkan pada SPM yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk dapat membuat APBD berbasis kinerja pemda harus memiliki perencanaan stratejik (Renstra). Renstra disusun secara obyektif dan melibatkan seluruh komponen yang ada di dalam pemerintahan. Dengan adanya sistem tersebut pemda akan dapat mengukur kinerja keuangannya yang tercermin dalam APBD. Agar sistem dapat berjalan
dengan baik perlu ditetapkan beberapa hal yang sangat menentukan yaitu, standar harga, tolok ukur kinerja dan SPM yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pengukuran kinerja digunakan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tugas yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi pemerintah daerah. Salah satu aspek yang diukur dalam penilaian kinerja pemerintah daerah adalah aspek keuangan berupa ABK. Untuk melakukan suatu pengukuran kinerja perlu ditetapkan indikator-indikator terlebih dahulu antara lain indikator masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia dan metode kerja. Agar input dapat diinformasikan dengan akurat dalam suatu
anggaran, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kewajarannya. Dalam menilai kewajaran input dengan keluaran (output) yang dihasilkan, peran ASB sangat diperlukan. ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Untuk memenuhi pelaksanaan otonomi di bidang keuangan dengan terbitnya berbagai peraturan pemerintah yang baru, diperlukan sumber daya manusia yang mampu untuk menyusun APBD berbasis kinerja. Dalam usaha
meningkatkan sumber daya manusia tersebut,Pemerintah Daerah berkerja sama dengan BPKP berusaha berperan aktif membantu dengan menyusun Pedoman
Penyusunan APBD Berbasis Kinerja.

Reformasi keuangan daerah

Reformasi yang mulai bergulir kurang lebih tiga tahun yang lalu membawa perubahan yang bayak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia yang tercinta. Perubahan yang terjadi baik dirasakan positif, maupun negative mengharuskan semua pihak melakukan “ adjustment”. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada suatu perubahan yang signifikan dan memerlukan banyak “ adjustment “ adalah reformasi hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah ( pemda ) yang lebih dikenal dengan “otonomi daerah”. Walaupun persolan otonomi daerah bukan persoalan yang baru karena suadah ada seiring dengan Undang undang Dasar 1945, namun ungkapan otonomi daerah bergulir akhir akhir ini seakan sesuatu yang benar baru. Sebagai konsekwensi dari otonomi daerah tersbut, maka hubungan Pemerintah pusat dngan Pemerintah daerah, termasuk dengan hubungan dalam bidang keuangan, menjadi suatu yang wajib untuk diubah dengan kata lain reformasi dalam hubungan keuangan pusat dan daerah ( reformasi keuangan daerah ) menjadi isu yang peting ( Halim 2007 : 249-250 ).Pemerintah berupaya mewujudkan keuangan daerah yang efektif, efisen, transparan dan akuntabel yaitu dengan tetap melakukan penyempurnan terus menerus dalam berbagai perundang-undanga dibidang pengelolaan keuangan daerah melalui diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah sebagai pengakomodasian dan penjabaran dari Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Undang undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, dan Undang undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional. ( Nurlan Darise 2006 ; xxii)
Lebi lanjut ( Darise 2007 ) mengatakan bahwa Pada tataran operasional didaerah, Departemen Dalam Negeri menerbitkan Permendagri nomor 13 Tahun 2006 tetang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang merupakan refisi Kepmendagri nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasn Keuangan Daerah, serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah serta penyusutan perhitungan anggaran dan pendapatan belanja daerah. Penerbitan Undang – undang, Peraturan Pemerintah, Permendagri tersebut merupakan satu rangkaian proses reformasi bidang penataan regulasi keuangan daerah.
Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana amanat otonomi daerah dilaksanakan secara jujur dan transparan dengan memiliki nilai akuntabilitas yang tinggi di dalam pengelolan dan pertanggungjawaban keuangan daerah Pemerintah daerah dituntut agar menyusun laporan keuangan daerah perlu disesuaikan dengan sistim dan prosedur sesuai dengan standar akuntasi Pemerintah. Kaitan dengan hal diatas tentuhnya hal yang mendasar yang selalu menjadi kegiatan operasional Pemerintah yang secara langsun merupakan bagian dari neraca yang menunjukan posisi kekayaan hutang dan saldo dana dalam sector privat disebut modal dari suatu organisasi atau pemerintah daerah. Di dalam neraca tersebut terdapat asset yang harus dihitung dan dinilai agar pemerintah daerah dapat mengetahui dengan pasti berapa jumlah asset yang dimiliki, karena informasi tentang asset ini akan digunakan sebagai referensi dalam pengembilan keputusan oleh pengambil kebijakan, sesuai dengan tujuan akuntansi itu sendiri. Mengingat pentingnya dari informasi tentang asset tersebut maka pemerintah daerah harus segera menghitung nilai asset tetap tersebut agar dalam membuat neraca pemerintah daerah tidak mengalami kesulitan dan tidak menimbulkan masalah ketika terjadi penjualan kembali atau tukar guling pada aseet tetap serta tidak bertentangan dengan aturan penghapusan barang milik daerah. ( Abdul Halim 2002 : 69

Minggu, 26 Agustus 2007